HeadlineIHSG

Hasil Audit Vale (INCO), PWC Soroti Hak di Proyek Kolaka Nickel

Audit PT Vale Indonesia Tbk (INCO) oleh Kantor Akuntan Publik Tanudiredja (PricewaterhouseCoopers/PwC) mengungkap laporan keuangan perusahaan periode 2023 disajikan secara wajar dan sesuai dengan standar akuntansi keuangan. 

“Menurut opini kami, laporan keuangan konsolidasian terlampir menyajikan secara wajar, dalam semua hal yang material,” tulis Yusron, mewakili PwC dikutip Senin, 12 Februari 2024. 

Dalam laporan keuangannya, INCO mencatat laba bersih 2023 sebesar US$ 274,33 juta. Mengacu kurs pagi ini (Rp15.611), laba INCO yang setara Rp 4,28 triliun itu melonjak 36,89% secara tahunan. Perusahaan menjabarkan capaian ini setara dengan 0,0276 per lembar (Rp 430 per lembar). 

Pada tahun lalu, Vale mencatat meraih pendapatan US$ 1,23 miliar. Tumbuh dibandingkan tahun sebelumnya sebesar US$ 1,17 miliar. Nilai ini terdiri dari penjualan ke Vale Canada Limited (VCL) senilai US$ 985,81 juta dan Sumitomo Metal Mining sebesar US$ 246,45 juta. 

Periode ini INCO mencatatkan beban pokok pendapatan US$ 885,24 juta, serta beban usaha US$ 22,15 juta. Sedangkan beban lainnya sebesar US$ 23,53 juta. 

Perusahaan juga memasukkan keuntungan atas pengakuan nilai wajar aset derivatif sebesar US$ 24,69 juta. Jumlah pengakuan jumbo ini merupakan angka baru dalam laporan keuangan, pada tahun sebelumnya pos ini belum ada nilai.

Sedangkan pendapatan keuangan perusahaan naik dari US$ 10,69 juta menjadi US$ 35,75 juta.

Hasil Audit PwC atas Aset Derivatif Proyek Kolaka Nickel Indonesia dan Reklamasi Pasca Tambang 

PwC memasukkan pengakuan aset derivatif ini sebagai sorotan dalam auditnya. Dalam catatannya, auditor PwC melihat aset derivatif ini signifikan dalam pengakuan laba  rugi. 

“Dengan bantuan pakar internal kami, kami menilai asumsi-asumsi signifikan yang digunakan manajemen dalam estimasinya terkait dengan nilai wajar aset derivatif, termasuk tingkat volatilitas dan tingkat diskonto, dengan membandingkan asumsi-asumsi tersebut dengan data pasar yang sebanding,” jelas Yusron dalam catatan auditnya.

Sementara itu, laporan keuangan perusahaan menyatakan pengakuan laba derivatif ini bersumber dari perjanjian dengan Zhejiang Huayou Cobalt Co. Ltd. Berdasarkan perjanjian yang disepakati pada November 2022 itu, INCO memiliki hak tambahan partisipasi kepemilikan sampai dengan 30% dalam investasi di proyek PT Kolaka Nickel Indonesia (KNI). 

Pada pengumuman akhir tahun lalu, Sekretaris Perusahaan Vale Indonesia Filia Alanda mengungkap seiring masuknya pemegang saham baru, struktur kepemilikan di proyek KNI terdiri dari Huaqi (Singapore) Lte Ltd dengan kepemilikan 764.000 saham atau setara 73,20%, Vale Indonesia sebanyak 191.000 saham atau setara 18,30%, dan Ford Motor sebanyak 88.716 saham atau setara 8,5%. 

KNI sendiri saat ini mencatatkan modal dasar Rp 3,82 triliun serta modal disetor Rp 1,04 triliun.

“Berdasarkan perjanjian tersebut, Perseroan memiliki hak tambahan partisipasi kepemilikan sampai dengan 30% dalam investasi di KNI dengan harga pelaksanaan berdasarkan formula yang telah ditentukan, yang dapat dilaksanakan sewaktu-waktu dalam periode 60 bulan sejak tanggal penyelesaian mekanikal dari smelter pada proyek High-Pressure Acid Leaching yang dilakukan oleh KNI,” tulis Vale dalam laporan keuangannya. 

Artinya, setelah proyek KNI dinyatakan rampung mekanikalnya, Vale dapat kembali masuk dan menjadi pemegang saham terbesar. 

Kolaka Nickel Indonesia (KNI) adalah perusahaan yang ditugaskan untuk membangun dan mengelola pabrik high-pressure acid leach (HPAL) nikel. Pengolahan ini direncanakan untuk menghasilkan nikel dalam bentuk Mixed Hydroxide Precipitate (MHP). Produk nikel tersebut disebut banyak digunakan untuk baterai mobil listrik. Bahan baku untuk KNI sendiri nantinya berasal dari tambang INCO di Blok Pomalaa 

Dalam opini audit yang sama, PwC juga menyoroti provisi atas penghentian pengoperasian aset. Provisi ini mencakup pengakuan biaya sebesar US$ 83,9 juta yang terdiri dari reklamasi lingkungan, penutupan tambang, hingga penghentian dan pembongkaran fasilitas.

“Kami menilai asumsi waktu kegiatan penghentian pengoperasian aset umur tambang dengan mengevaluasi posisi hukum manajemen dan kemungkinan bahwa Grup akan dapat memperoleh persetujuan dari Pemerintah Indonesia untuk dua kali periode perpanjangan Kontrak Karya selama masing-masing 10 tahun,” ulas Yusron dalam opininya. 

Redaksi

Dukung kami untuk terus menyajikan konten bermanfaat dan memberi insight. Hubungi kami untuk konten di redaksi@theeconopost.com. Untuk kerja sama iklan dan promosi lainnya ke marketing@theeconopost.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Untuk mengcopy teks yang dibutuhkan hubungi marketing@theeconopost.com