Kolom

JKN dan Layanan Publik

 

Timboel Siregar

Koordinator Advokasi BPJS Watch

****

 

Kehadiran Inpres no. 1 Tahun 2022 tentang optimalisasi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan merupakan tindaklanjut dari amanat kepesertaan wajib dan gotong royong di program JKN yang dimuat dalam UU SJSN dan UU BPJS serta PP No. 86 tahun 2013.

Tujuan dari kepesertaan wajib dan gotong royong adalah agar seluruh rakyat Indonesia memiliki akses terhadap JKN dan seluruh rakyat bergotong royong membiayai masyarakat Indonesia yang sakit. Tentunya kepesertaan wajib ini sesuai dengan Hukum Bilangan Besar dalam asuransi, yaitu semakin banyak kepesertaan maka akan semakin banyak iuran yang masuk dan akan mudah membiayai pelayanan Kesehatan.

Karena memang ada ketentuan yuridisnya maka sanksi tidak dapat layanan public bagi masyarakat yang belum menjadi peserta JKN, adalah benar adanya. Dan diharapkan seluruh kementerian dan Lembaga yang diinstrusikan dalam Inpres no. 1 tersebut benar-benar bisa menjalankan tugasnya untuk mengoptimalkan JKN.

Namun demikian, ada bagian tertentu di Inpres No. 1 Tahun 2022 yang mewajibkan Pekerja Migran Idonesia yang bekerja di luar negeri kurang dari 6 bulan, jamaah Haji dan Umroh menjadi peserta aktif JKN. Menurut saya hal tersebut kurang tepat, karena bekerja dan menjalankan ibadah adalah hak dasar manusia yang tidak boleh dipersyaratkan dengan Program JKN. Selain itu, faktanya Program JKN belum bisa memberikan pelayanan manfaat di luar negeri, sehigga Pekerja Migran Idonesia yang bekerja di luar negeri kurang dari 6 bulan, jamaah Haji dan Umroh bila mengalami sakit tidak dijamin JKN.

Sebelum Inpres no. 1 muncul, Presiden sudah pernah meneken Inpres no. 8 tahun 2017 tentang optimalisasi JKN juga, namun pada saat itu 11 Kementerian Lembaga yang diinstruksikan tidak maksimal bekerja sehingga terjadi defisit yang lebih besar di 2018 dan 2019. Saya menilai Inpres no.8 tahun 2017 tersebut kurang berhasil dijalankan.

Jangan sampai Inpres no. 1 Tahun 2022 ini mengalami nasib yang sama dengan Inpres No. 8 Tahun 2017. Oleh karena itu seharusnya Presiden mengawal Inpres no. 1 tahun 2022 ini dengan serius, dengan mengevaluasi seluruh kerja para pembantunya yang diinstruksikan di Inpres no. 1 tersebut.

Tentunya sanksi tidak dapat layanan public yang akan dikenakan kepada masyarakat yang belum menjadi peserta JKN, secara material tidak memberatkan. Masyarakat bisa mengambil klas 3 yaitu membayar iuran Rp. 35 ribu per bulan untuk menjadi peserta JKN.

Secara simultan dengan penerapan sanksi tersebit, Pemerintah dan BPJS Kesehatan harus meningkatkan pelayanannya kepada peserta JKN. Program JKN telah banyak memberikan manfaat kepada masyarakat. Namun ada beberapa persoalan yang masih terjadi di RS, dan oleh karenanya BPJS Kesehatan harus mampu membantu dan mencarikan solusi bagi peserta JKN yang mengalami masalah di faskes. Kehadiran staf BPJS Kesehatan di Unit Pengaduan di setiap RS yang menjadi mitra BPJS Kesehatan, adalah sangat penting. Jangan sampai hanya ada nomor telpon saja, tetapi bisa hadir secara fisik agak peserta JKN yang mengalami masalah bisa langsung dibantu.

Demikian juga Pemerintah cq. Kemenkes juga meningkatkan akses pelayanan kepada peserta dalam bentuk regulasi seperti membukan lebih luas obat-obatan kepada peserta, yaitu dengan menambah obat-obatan di formularium nasional (fornas) khususnya seperti obat-obat cancer. Demikian juga dengan akses pelayanan Kesehatan lainnya berupa preventif promotive harus diperluas untuk mendukung gaya hidup sehat masyarakat Indonesia. ***

 

 

 

Redaksi

Dukung kami untuk terus menyajikan konten bermanfaat dan memberi insight. Hubungi kami untuk konten di redaksi@theeconopost.com. Untuk kerja sama iklan dan promosi lainnya ke marketing@theeconopost.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Untuk mengcopy teks yang dibutuhkan hubungi marketing@theeconopost.com