Kwik Kian Gie di Mata Prof. Didik, Warisan Intelektual yang Tak Pernah Padam
TheEconopost.com, Indonesia kembali berduka. Seorang pemikir besar dan sosok penjaga nurani ekonomi nasional, Kwik Kian Gie, berpulang pada 28 Juli 2025. Ia meninggalkan warisan pemikiran yang tajam dan teladan keberanian intelektual yang tak lekang oleh waktu.
“Indonesia kehilangan seorang tokoh dan ekonom hebat. Kwik Kian Gie berpulang, meninggalkan warisan pemikiran dan keteladanan intelektual yang sangat berharga bagi bangsa ini,” ujar Rektor Universitas Paramadina, Prof. Didik J. Rachbini, dalam pernyataan tertulis, Selasa, 29 Juli 2025.
Bagi Prof. Didik, sosok Kwik adalah penjaga keseimbangan dalam lanskap kebijakan ekonomi Indonesia. “Kita kehilangan tokoh dan ekonom hebat, yang peranannya besar untuk koreksi dan check and balances bagi kebijakan ekonomi,” ujarnya.
Pada era 1980-an, ketika dunia intelektual masih sangat terbatas, Kwik Kian Gie sudah menjadi salah satu suara paling nyaring. Ia menyelesaikan studi di Nederlandse Economische Hogeschool, Rotterdam—yang kini menjadi Erasmus University—dan sejak itu aktif melontarkan gagasan dan kritiknya melalui media massa.
“Pemikirannya dan terutama kritiknya di media massa sangat didengar dan berpengaruh,” ujar Didik. Bahkan ketika banyak intelektual merapat ke Orde Baru pada 1990-an, Kwik memilih tetap berada di luar lingkar kekuasaan, memainkan peran kontrol sosial yang tak tertulis namun tajam.
Ia menjadi bagian dari “Kelompok Ekonomi 30” bersama ekonom progresif lainnya seperti Sjahrir, Rizal Ramli, Dorodjatun, dan Hendra Esmara. Kelompok ini kerap menjadi penyeimbang narasi ekonomi arus utama, dengan menyuarakan saran berbasis bukti akademik meski kerap diabaikan.
“Kebijakan ekonomi Orde Baru di bawah kelompok yang disebut Mafia Berkeley dipuji-puji sampai akhirnya tahun 1997 ambruk,” ungkap Didik, mengenang bagaimana peringatan Kwik dan rekan-rekannya akhirnya terbukti.
Selepas reformasi, suara Kwik tak redup. Justru, ia masuk ke dalam pemerintahan. Ia menjabat sebagai Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas (1999–2000) di bawah Presiden Abdurrahman Wahid, lalu Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri (2001) pada era Presiden Megawati Soekarnoputri.
Namun, keberadaannya di kabinet tak membuatnya kehilangan jati diri. Ia tetap menjadi intelektual kritis, bahkan bila harus bersikap berseberangan dengan kekuasaan. “Ia dikenal sebagai figur intelektual yang berani menyuarakan kebenaran, bahkan jika itu berarti harus berseberangan dengan kekuasaan,” ujar Didik.
Hingga akhir hayatnya, Kwik tetap konsisten menyuarakan pentingnya kedaulatan ekonomi nasional. Dalam berbagai forum, ia mengingatkan agar Indonesia tidak tergantung pada lembaga keuangan internasional dan utang luar negeri.
“Pemikirannya relevan sampai saat ini, yaitu tentang pentingnya kedaulatan ekonomi. Ini yang selalu disuarakan, jangan tergantung kepada IMF dan utang agar tidak disubordinasi secara politik oleh kekuatan asing dan barat,” kata Didik.
Kritik Kwik terhadap oligarki ekonomi-politik juga masih menjadi referensi penting. Ia pernah mengguncang publik dengan kritiknya terhadap “konglomerat hitam” yang hidup dari lisensi negara, tetapi justru menyusahkan rakyat.
Lebih jauh, Kwik juga melihat Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagai elemen vital ekonomi nasional. “Bagi Kwik, BUMN adalah separuh ekonomi bangsa dan instrumental. Karena itu, penting untuk menjaga BUMN dan aset strategis bangsa. Apa relevansinya dengan kondisi sekarang, Danantara tidak boleh gagal,” ujar Didik, menyebut holding strategis yang kini tengah dibentuk pemerintah.
