Putar Akal Perbankan Digital
Ledakan pengguna internet berkecepatan tinggi, besarnya kemampuan ponsel, dan semakin terjangkaunya harga perangkat membawa disrupsi ke semua arah. Di Tanah Air, disrupsi dimulai dari layanan toko daring, transportasi, media dan kini menyasar ke salah satu bisnis paling kokoh secara aturan selama ratusan tahun. Perbankan.
***
Tempias.com, JAKARTA – Jemari Aini (37 tahun) salah seorang pegawai swasta di bilangan Sudirman Jakarta, bergerak lincah di layar gawai. Dengan cekatan ia menyelesaikan transaksi perbankan lewat aplikasi salah satu bank digital.
Selama 2 tahun terakhir, Aini hampir lupa kapan terakhir kali datang ke kantor cabang bank. Ia lebih banyak bertransaksi secara online untuk berbagai keperluan. Hubungan transaksi lewat fisik lebih ke pengambilan uang tunai di ATM, itupun sangat terbatas karena sebagian besar juga dilakukan dengan dompet digital.
Masifnya penggunaan dompet digital mendapat momentum pandemi. Pembatasan pergerakan orang mengubah kebiasaan menjadi semakin digital. Pembatasan mobilitas, jaga jarak dan semakin banyaknya kemudahan membuat Aini lebih memilih menggunakan transaksi digital. Bahkan ia sengaja menambah rekening di salah satu bank digital khusus untuk transaksi online.
“Di bank digital ada yang gratis biaya admin, jadi lebih mudah dan ga bikin tekor,” ujar Aini menceritakan pengalamannya pada Tempias.com, Senin, pekan ketiga April 2022.
Bergesernya gaya hidup masyarakat menjadi serba digital mendorong peningkatan ekonomi digital Tanah Air. Bila merujuk data Bank Indonesia, pada 2021 transaksi e-commerce tumbuh 51,6 persen dan diperkirakan akan terus meningkat pada 2022 hingga mencapai Rp 530 triliun, atau tumbuh 31,4 persen.
Masih berdasarkan data Bank Indonesia, nilai transaksi uang elektronik tumbuh 40,9 persen (yoy) mencapai Rp 84 triliun. Sedangkan transaksi digital banking meningkat 45,9 persen (yoy) menjadi Rp 40 ribu triliun.

Pergeseran perilaku masyarakat menjadi serba digital menjadi katalis bagi industri perbankan untuk berubah. Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, Wimboh Santoso mengatakan digitalisasi memberi harapan sekaligus menjadi tantangan baru bagi industri perbankan.
“Digitalisasi menjadi sesuatu yang tak dapat dihindari sehingga kami minta dunia perbankan mempercepat transformasi digital karena tanpa digitalisasi persaingan menjadi semakin ketat,” ujar Wimboh dalam Kuliah Umum Kebijakan Strategis OJK Jumat, pekan kedua April..
Di dunia, trend masif bank digital mewabah seiring kesuksesan Ally Bank di Amerika Serikat (2009), WeBank di China (2014), Revoult di Eropa, Kakao Bank di Korea Selatan (2016), hingga terus melebar ke seluruh dunia. Di Tanah Air, pergeseran menuju bank digital muncul mencolok pada 2016 dengan hadirnya layanan perbankan online Jenius dari BTPN.
Saat Jenius dikembangkan, BTPN dipimpin Jerry Ng. Sosok yang sama di balik transformasi bank konvensional dari Bandung, Arto, menjadi bank digital Jago (IDX: ARTO). Dengan menggandeng raksasa investasi Northstar, startup GOTO dan dana abadi pemerintah Singapura, GIC, Jerry mengubah Bank Jago menjadi emiten raksasa. Per 14 April 2022, kapitalisasi Bank Jago di Bursa Efek Indonesia mencatat angka Rp 178 triliun dalam 2 tahun. Kapitalisasi Bank Jago hanya kalah oleh BCA, BRI dan Bank Mandiri.
Setelah ARTO, beberapa bank konvensional kemudian ikut bertransformasi menjadi bank digital penuh seperti Bank Yudha Bhakti menjadi Bank Neo Commerce (IDX: BBYB), dan BRI Agroniaga menjadi Bank Raya (IDX: AGRO), Maybank Syariah menjadi Net kemudian menjadi Aladin (IDX: BANK) hingga Bank Harda menjadi Allo Bank (IDX: BBHI).
BACA JUGA: Geliat Bank Digital: Adu Strategi Mengejar Penetrasi
Tidak Mudah
Digitalisasi sektor perbankan memang menjadi kunci. Meski begitu Deputi Komisioner Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan Teguh Supangkat dalam webinar bertajuk ‘Dari Bank Hybrid Menuju Bank Digital’ beberapa waktu lalu mengakui proses itu tidaklah mudah. Ada banyak tantangan yang dihadapi perbankan seperti potensi kejahatan siber, persoalan perlindungan data pribadi dan penguatan literasi keuangan masyarakat.
Teguh menyebutkan dua kunci transformasi digital yakni sisi belanja modal dan sumber daya manusia. Karena itu, OJK terus mendorong penguatan struktur dan keunggulan kompetitif perbankan dengan dukungan dalam hal perizinan, pengaturan dan pengawasan untuk penguatan peran perbankan terhadap ekonomi nasional. Selama 2021, OJK telah mengeluarkan dua aturan yang jadi payung operasional bank digital.
“Ini bukan senjata pamungkas tetapi amunisi kami untuk mencapai industri perbankan yang tangguh, kompetitif, dan kontributif,” ujar Teguh.
Dukungan dari regulator dalam mengakselerasi perbankan digital diakui menjadi faktor penting dalam perkembangan bank digital Tanah Air. Direktur Utama Bank Commonwealth, Lauren Sulistiyawati menyatakan di sisi lain hal ini menjadi tantangan bagi bank konvensional untuk bisa bersaing di era perbankan digital.
“Challengesnya nanti, dengan munculnya bank digital maka kompetisinya akan terus berkembang, bukan saja dari bank tetapi perusahaan teknologi keuangan (fintech) yang bisa memberikan solusi keuangan yang diperlukan sehari-hari oleh nasabah,” ujar Lauren.
Meski hingga saat ini belum berencana untuk beralih menjadi bank digital, menurut Lauren, Bank Commonwealth sebenarnya telah bertransformasi untuk menjawab kebutuhan nasabah. Sejak 2016, bank yang merupakan anak usaha Commonwealth Bank of Australia (CBA) ini telah mendigitalisasi beberapa produk seperti dengan menghadirkan produk e-kiosk dilanjutkan peluncuran aplikasi seluler CommBank SmartWealth pada 2019 untuk mendigitalkan transaksi investasi sederhana dan manajemen portofolio. Pada 2021 juga diluncurkan Commbank mobile yang melayani pembukaan rekening online, dan berbagai transaksi perbankan.
“Nasabah selalu menjadi sentral dari inovasi yang kami buat. Kami mengantisipasi apa yang bisa diberikan supaya kami tetap satu atau dua langkah di depan dari apa yang dibutuhkan nasabah,” jelas Lauren lagi.
Lebih jauh mengenai strategi Commonwealth SVP, Head of Marketing, Branding and Digital Products, Lia Rosmalia, mengatakan perbankan digital adalah kunci untuk mendorong inklusi dan stabilitas keuangan di Indonesia. Karena itu, dalam transformasi digital Commonwealth berpegang pada tiga prinsip yaitu keunggulan layanan digital, proposisi digital, dan model operasional. Meski fokus saat ini adalah melanjutkan strategi transformasi digital yang telah dilakukan sejak 2016, Lia mengatakan tidak tidak menutup kemungkinan suatu saat nanti Commonwealth membuka diri menjadi Bank Digital jika strategi tersebut dirasakan tepat untuk bank.
“Dengan semakin banyak bank digital memasuki market – yang berpotensi menggantikan beberapa aktivitas perbankan konvensional saat ini – kami yakin hal ini akan mendorong peningkatan layanan keuangan yang akan berdampak positif kepada masyarakat,” jelas Lia pada Tempias.com.
BACA JUGA: Menakar Janji Promosi vs Beban Literasi Bank Digital
Bertransformasi menjadi bank digital menjadi salah satu jawaban yang dipilih perbankan untuk beradaptasi. Direktur Utama Bank Neo Commerce (IDX: BBYB), Tjandra Gunawan menyebutkan perubahan drastis Bank Neo yang dulunya bernama Bank Yudha Bhakti salah satunya didorong oleh faktor pandemi. Selain itu Bank Neo juga melihat peluang dari besarnya target market perbankan digital.
Merujuk hasil sensus penduduk 2020, sebanyak 70,7 persen atau sekitar 200 juta penduduk berada di usia produktif. Dari jumlah itu sebanyak 60 persen atau setara 120 juta berada dalam kategori unbanked yaitu sudah cukup umur tetapi tidak memiliki rekening bank dan underbanked yaitu sudah punya rekening bank tetapi belum bisa mengakses seluruh layanan perbankan.
Tjandra mengakui untuk berubah menjadi bank digital tidak mudah. Menurut dia transformasi membutuhkan investasi untuk teknologi dan sumber daya manusia yang menelan biaya besar. Meski begitu, transformasi yang dilakukan diyakini akan bermanfaat untuk jangka panjang karena melahirkan efisiensi.
‘“Sebuah bank di saat bertransformasi menjadi digital yang dijual adalah teknologi sehingga butuh investasi. Itulah kenapa beberapa bank yang mengklaim bertransformasi menjadi bank digital harusnya mengalami tekanan atau loss di awal,” ujar Tjandra dalam seminar daring beberapa waktu lalu.
Agar bisa melewati masa sulit selama transformasi, perbankan pun melakukan berbagai inovasi baik dari pilihan produk maupun dari segi pemasaran. Termasuk berlomba menghadirkan aneka promosi untuk mempercepat penetrasi.
Peneliti Ekonomi Digital Sigmaphi Gusti Raganata saat berbincang dengan Tempias.com menyebutkan promosi menjadi salah satu strategi yang dominan diadopsi bank digital mengakuisisi nasabah. Mulai dari pembebasan biaya administrasi hingga suku bunga yang lebih tinggi dibandingkan rata-rata industri. Meski demikian jor-joran promosi yang dilakukan Bank Digital untuk menarik minat nasabah tidak menjadi jaminan perusahaan bisa bertahan. Dia memperkirakan hanya akan ada lima bank digital yang menguasai perbankan Tanah Air.
“Bank yang paling bertahan di jangka panjang adalah yang punya ekosistem. Pertarungan antar ekosistem yang akan menentukan siapa yang bertahan,” ujar Gusti.
Akselerasi perbankan dalam bertransformasi menjadi bank digital menurut Gusti juga harus memperhatikan aspek nasabah. Perbankan digital harus tetap mengedepankan pentingnya literasi keuangan. Selain itu bank digital juga perlu jujur kepada nasabah mengenai produk perbankan yang dikeluarkan. (Ira guslina)