Laporan DBS Indonesia Tentang Perekonomian Terkini
foto: Kantor Pusat DBS/Sumber:Laman DBS |
Tempias.com – Pandemi Covid-19 telah mengubah tatanan global secara dramatis. Tak hanya menjadi masalah kesehatan, penyebaran virus ini juga melumpuhkan roda perekonomian global. Kantor-kantor, pabrik dan pusat perbelanjaan tutup, transportasi sebagian besar berhenti beroperasi, alhasil banyak perusahaan yang mengurangi jumlah pegawainya. Krisis ekonomi global bukan lagi prediksi, tetapi sudah terjadi.
Dengan asumsi puncak pandemi akan terjadi pada kuartal kedua dan mulai surut pada paruh kedua 2020, Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan ekonomi global akan menciut dan terkontraksi hingga —3 persen. Proyeksi IMF tersebut jauh lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi tahun lalu yang mencapai 2,9 persen.
Angka tersebut — yang dimuat dalam World Economic Outlook yang dirilis IMF pada 13 April — merupakan kemerosotan ekonomi terburuk sejak “The Great Depression” yang melanda dunia tahun 1929 dan krisis finansial global pada tahun 2008-2009.
Saat krisis finansial pada 2008, ekonomi global menyusut minus 0,1 persen. Ekonomi negara-negara maju, seperti Amerika Serikat dan negara-negara Eropa menjadi yang paling terpukul oleh pandemi ini. DBS Indonesia dalam pandangannya untuk media, Selasa (9/6/2020) menyebutkan kekhawatiran IMF bahwa kondisi perekonomian bisa menjadi lebih buruk
lantaran tingginya ketidakpastian.
“Ada ketidakpastian ekstrim di seluruh dunia terhadap perkiraan pertumbuhan ekonomi,” tulis IMF dalam laporan tersebut. Bila
puncak pandemi dan pemulihannya mundur dari perkiraan, maka perekonomian global diprediksi bakal terperosok lebih dalam lagi.
Menurut IMF, dampak ekonomi sangat tergantung pada faktor-faktor yang sulit diprediksi, seperti epidemiologi virus, kemanjuran upaya pembatasan, serta perkembangan temuan pengobatan dan vaksin.
Ditambah lagi, kini semakin banyak tekanan yang dihadapi negara-negara di seluruh dunia, antara lain krisis kesehatan, keuangan, dan runtuhnya harga komoditas. Bahkan, sekalipun pandemi berakhir, lanskap ekonomi global sudah tak sama lagi. Efeknya lebih buruk dari krisis ekonomi 2008. Kerugian secara global bisa melebihi US$9 triliun atau lebih dari 10 persen produk domestik bruto (PDB) global.
Kelumpuhan ekonomi yang dimulai dari Tiongkok ini menjalar ke hampir seluruh negara di dunia. Dengan rantai pasokan yang terganggu saat pabrik tutup dan pekerja yang dikarantina, tingkat konsumsi dan belanja pun ikut anjlok. Proses ini mengakibatkan aktivitas perdagangan global melambat sangat cepat.
Krisis ekonomi kali ini jauh beda dari krisis pada 1998 dan 2008, baik dari penyebab maupun dampaknya. Saat krisis ekonomi 1998, nilai rupiah terhadap dolar Amerika Serikat terjun bebas dari kisaran Rp2.000 menjadi Rp15.000 per dolar. Jatuhnya rupiah memukul perusahaan-perusahaan besar dan lembaga keuangan yang memiliki utang dalam mata uang dollar dengan jumlah besar.
Ketika itu, hal yang menjadi bantalan penyangga perekonomian Indonesia justru usaha-usaha kecil yang sama sekali tidak punya utang dalam mata uang dollar. Mereka mampu bertahan hidup dengan bergantung pada permintaan pasar dalam negeri. Selain itu, besarnya pasar dalam negeri pula yang membuat Indonesia bertahan dari krisis ekonomi 2008, yang dipicu rontoknya sub-prime mortgage di Amerika Serikat.
Pengalaman melewati dua kali krisis ekonomi itu membuat Pemerintah Indonesia lebih siap menghadapi merosotnya perekonomian akibat pandemi Covid-19 saat ini. Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan perbankan Indonesia, juga telah menyiapkan rupa-rupa protokol untuk menghadapi dampak pandemi.
Kondisi perbankan Indonesia saat ini pun jauh lebih sehat dan kuat dibandingkan saat krisis 1998. Hal ini terlihat dari kondisi rasio modal atau capital adequacy ratio (CAR) dan kredit bermasalah atau non performing loan (NPL). Per Maret 2020 lalu, CAR perbankan Indonesia mencapai 21,77 persen dengan NPL 2,77 persen.
Masalahnya, krisis ekonomi kali ini memukul seluruh sendi perekonomian. Dari perusahaan besar sampai usaha mikro dan kecil hampir tidak ada yang bebas dari dampak pandemi. Semua kegiatan ekonomi dipaksa berhenti. Tingkat konsumsi masyarakat yang biasanya menjadi penggerak perekonomian terus turun.
Ketika kegiatan ekonomi terhenti, para pemangku kepentingan wajib memastikan seluruh warganya dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka. Sejumlah negara telah menggelontorkan stimulus fiskal untuk menyelamatkan ekonomi dalam negeri agar tidak terpuruk lebih dalam akibat pandemi yang membuat seluruh sendi perekonomian lunglai.
Riset yang mengutip Kompas itu menyebutkan, sebanyak 183 negara sudah mengeluarkan stimulus yang ekstensif dalam menangani pandemi Covid-19 dan dampaknya terhadap perekonomian. Stimulus tersebut seperti insentif pajak, jaring pengaman sosial, penjaminan pinjaman, penurunan suku bunga, pelonggaran kuantitatif (quantitative easing), dan lainnya.
Hal yang sama telah dilakukan Indonesia. Pemerintah telah mengalokasikan stimulus tahap ketiga mencapai Rp405,1 triliun untuk melawan Covid-19. Stimulus yang dikeluarkan mencapai 2,5 persen terhadap produk domestik bruto. Stimulus tersebut mencakup anggaran kesehatan sebesar Rp75 triliun, perlindungan sosial Rp110 triliun, dukungan untuk industri Rp70,1 triliun, dan program pemulihan ekonomi Rp150 triliun.
Meski telah mengalokasikan stimulus yang cukup besar, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Febrio Kacaribu ragu jika anggaran tersebut mencukupi. “Terus terang kami ragu itu cukup. Pemerintah akan siap-siap juga kalau tidak cukup, apa yang harus dilakukan, karena memang tanda-tanda yang kami lihat agak mengkhawatirkan,” ujar Febrio dalam konferensi video di Jakarta, Senin (20/4).
Untuk mengantisipasi kebutuhan anggaran penanganan pandemi Covid-19, Kementerian Keuangan Republik Indonesia telah bernegosiasi dengan Bank Pembangunan Islam atau Islamic Development Bank (IsDB). “Dana darurat Covid-19 dari IsDB dalam proses negosiasi antara US$200 juta-250 juta,” tulis Sri Mulyani usai mengadakan konferensi video dengan IsDB dalam akun instagram resminya, seperti dikutip Katadata.co.id, Senin (27/4).
Sri Mulyani menjelaskan, dukungan IsDB tersebut merupakan hasil kerja sama dengan Bank Dunia dan Bank Pembiayaan Infrastruktur Asia alias Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB). Dalam menggelontorkan
bantuan tersebut, IsDB akan meluncurkan program 3R (Respons, Restore, Restart). Sri Mulyani juga menceritakan langkah-langkah kebijakan pemerintah Indonesia dalam menghadapi Covid-19 kepada Presiden IsDB Bandar Hajjar.
Stimulus dan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Inisiatif sejumlah negara dan Pemerintah Indonesia dalam mengguyurkan stimulus untuk menjaga perputaran roda perekonomian dinilai positif oleh analis Bank DBS, yang diterbitkan lewat DBS Asian Insights report.
“Kesampingkan kekhawatiran tentang disiplin fiskal dan beban utang. Otoritas keuangan di seluruh dunia membiarkan defisit anggaran mereka terbuka lebar,” tulis analisis DBS dalam DBS Asian Insights report berjudul Hedge the Wave yang diterbitkan pada 13 April lalu.
Meski stimulus dinilai positif, pandemi Covid-19 membuat Pemerintah Indonesia harus berakrobat menyelamatkan anggaran. Di satu sisi, adanya kebijakan karantina (lockdown) membuat banyak perusahaan terpukul yang akhirnya menyebabkan pendapatan pemerintah mengalami penurunan tajam. Namun di sisi lain, pemerintah justru perlu menambah pengeluaran untuk mengatasi penularan Covid-19, anggaran jaring pengaman sosial, stimulus pajak kepada usaha-usaha yang terpukul krisis, dan berbagai langkah pendukung lainnya.
Masa-masa sulit tersebut sudah memperlihatkan gejalanya sejak awal tahun 2020. Badan Pusat Statistik mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal pertama tahun ini hanya sebesar 2,97 persen.
Angka tersebut jauh lebih rendah dari proyeksi Menteri Keuangan Sri Mulyani yang sebelumnya masih optimistis pertumbuhan ekonomi pada kuartal pertama 2020 mampu mencapai 4,6 persen.
Sri Mulyani memperkirakan ekonomi pada kuartal II akan jatuh lebih dalam dibanding kuartal I 2020 sebagai imbas dari kebijakan pembatasan sosial berskala besar (social distancing) untuk memutus rantai penularan Covid-19.
“Kita antisipasi kuartal II akan jatuh lebih dalam lagi karena PSBB meluas bukan hanya di Jabodetabek,” ujar Sri Mulyani dalam Rapat Kerja bersama Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat melalui konferensi video di Jakarta, Rabu (6/5). Beliau mengaku kaget dengan realisasi pertumbuhan ekonomi kuartal I yang jauh lebih rendah dari perkiraan.
Sepanjang tahun 2020, masyarakat Indonesia diperkirakan akan memfokuskan pengeluaran pada kebutuhan pokok. Sementara, pengeluaran yang sifatnya tidak prioritas akan terus tertekan. Akibatnya,
konsumsi yang masih relatif terjaga adalah makanan dan minuman, selain restoran serta jasa kesehatan, yang proporsinya mencapai 44 persen dari konsumsi rumah tangga.
Meski demikian, Presiden Joko Widodo menilai pertumbuhan ekonomi Indonesia tak seburuk itu jika dibandingkan negara lain yang juga menghadapi pandemi Covid-19. Jokowi mencontohkan, pertumbuhan ekonomi Tiongkok pada kuartal I 2020 mencapai minus 6,8 persen dari sebelumnya 6 persen. Dengan demikian, total penurunan kinerja ekonomi Negeri Tembok Besar itu sebesar 12,8 persen.
Tak hanya Tiongkok, perekonomian Perancis, salah satu negara yang dihantam Covid-19 paling parah, juga babak belur, anjlok hingga 6,25 persen. Sedangkan ekonomi Hongkong turun sebesar 5,9 persen.
“Spanyol turun 5,88 persen, Italia turun 4,95 persen. Kinerja ekonomi
negara kita masih relatif baik,” kata Jokowi saat membuka Sidang Kabinet
Paripurna melalui konferensi video, Rabu 6 Mei lalu.