24 Bank Terancam Turun Kasta, Ini Skenario dari OJK
Tempias.com, JAKARTA – Sebanyak 24 bank umum terancam turun kelas menjadi Bank Perkreditan Rakyat. Hal ini lantaran bank-bank tersebut belum memenuhi modal inti Rp 3 Triliun.
Merujuk pada Peraturan OJK Nomor 12/POJK.03/2020 tentang Konsolidasi Bank Umum hingga akhir 2022, seluruh bank umum harus memiliki modal inti Rp 3 triliun. Berdasarkan data posisi Juli 2022, terdapat 37 bank yang memiliki modal inti di bawah Rp3 triliun, terdiri dari 24 bank umum dan 13 BPD.
“[Bank tersebut saat ini] sedang dalam proses konsolidasi maupun pemenuhan modal inti minimum,” jelas Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae dalam keterangan resmi seperti dikutip Rabu, 7 September 2022.
Menurut Darmansyah, sesuai dengan POJK tentang Konsolidasi Bank Umum, dalam pemenuhan skema konsolidasi, bagi bank yang memiliki modal inti di bawah Rp3 triliun dapat membentuk Kelompok Usaha Bank (KUB) dalam hal rencana penggabungan, peleburan, atau integrasi bank.
BACA JUGA: Geliat Bank Digital, Adu Strategi Mengejar Penetrasi
Saat ini, seluruh bank umum telah menyampaikan rencana tindak pemenuhan modal inti minimum melalui Rencana Bisnis Bank. Sesuai skema konsolidasi sebagaimana diatur pada POJK KUB, terdapat lima skema konsolidasi bagi Bank Umum dengan modal inti kurang dari Rp3 triliun.
Adapun kelima skenario itu adalah dengan melakukan penggabungan, peleburan atau integrasi (P/P/I), pengambilalihan yang diikuti P/P/I, pembentukan KUB terhadap bank yang telah dimiliki, dan pembentukan KUB karena Pemisahan (spin off) UUS. Yang terakhir adalah dengan pembentukan KUB karena Pengambilalihan
“Terkait pemenuhan modal inti minimum, OJK akan terus meminta komitmen dari pemegang saham bank untuk melakukan penambahan modal serta mendorong aksi korporasi yang dibutuhkan dalam melakukan konsolidasi perbankan,” ujar Dian lagi.
BACA JUGA: Menakar Janji Promosi vs Beban Literasi Bank Digital
Perketat Pengawasan
Lebih lanjut, Dian mengatakan OJK akan terus membangun sistem perbankan yang berintegritas sebagai fundamental dalam menciptakan stabilitas perbankan dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Sistem pengawasan yang responsif terhadap tantangan dan perubahan ekosistem keuangan global akan terus dikembangkan. Pengawasan terhadap individual bank dengan mengedepankan early warning system menjadi penekanan ke depan. Perlindungan terhadap nasabah juga merupakan prioritas dengan tetap memastikan kepastian hukum bagi perbankan dan masyarakat.
Untuk mencapai tujuan tersebut, Dian mengatakan OJK melihat kembali business process dalam regulasi, perizinan, dan pengawasan. OJK akan memberikan ruang yang cukup kepada perbankan untuk melakukan inovasi dan penyesuaian (adjustment) dalam menghadapi ekosistem yang berubah dari waktu ke waktu dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian. OJK akan melakukan intervensi apabila diperlukan (creative intervention) untuk memastikan penerapan Governance Risk Compliance (GRC), integritas, dan tingkat kesehatan bank.
Sementara itu, terdapat isu-isu terkini yang memerlukan perhatian OJK dan industri perbankan serta membutuhkan respon segera antara lain pengembangan digitalisasi perbankan, UMKM, kelanjutan kebijakan restrukturisasi kredit yang targeted, penerbitan arahan untuk stimulus kredit bagi debitur terdampak Penyakit Mulut dan Kuku, serta mendorong bank dalam penerapan keuangan berkelanjutan.
OJK juga meminta perbankan untuk tidak berpuas diri (complacent) dengan pencapaian kinerja yang baik, namun harus terus waspada mengamati risiko-risiko yang terkait dengan serangan siber, kejahatan ekonomi yang semakin canggih, risiko perubahan iklim (climate related risk), perkembangan digitalisasi, geopolitical tension, dan ketidakpastian global. (Ahmad Ridwan)