Belajar dari Kampung Samtama: Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim dari Tengah Kota
Siapa bilang untuk belajar mencintai lingkungan dan alam harus pergi ke desa, atau ke tengah hutan rimba. Dari kota pun bisa. Di kampung Samtama RW 03 Cempaka Putih Timur, Jakarta Pusat, penghijauan bisa dilihat dan menjadi bukti bahwa ikhtiar untuk mewujudkan bumi yang lebih baik juga bisa dimulai dari kota.
***
Tempias.com, JAKARTA– Suasana segar dan asri menyambut mata saat berkunjung ke RW 03 Kelurahan Cempaka Putih Timur Jakarta Pusat. Tanaman hijau aneka rupa berjejer di depan rumah warga. Dinding dan gang tak luput dari nuansa hijau-hijau. Ada tanaman obat, tanaman sayuran, dan aneka rupa bunga.
“Penghijauan di kampung ini sudah dimulai sejak 2006 dan terus berlanjut sampai pada 2019 Gubernur DKI Jakarta meresmikan wilayah ini sebagai Kampung Samtama, Sampah Tanggung Jawab Bersama,” ujar Adian Sudiana, warga RW 03 yang juga menjadi penggerak kampung samtama, pada Tempias.com, Kamis, 15 Desember 2021.
Kampung Samtama merupakan salah satu kampung proklim di Jakarta. Di sini warga sudah terbiasa memilah dan mengolah sampah. Ada 14 Bank sampah yang berdiri dengan keanggotaan lebih dari 140 orang. Warga juga terlibat aktif untuk melakukan penghijauan.
Terdapat 40 modul hidroponik yang tersebar di 18 RT. Menurut Adian, meski pandemi, aktivitas hidroponik warga tidak berhenti. Setiap hari ada saja tanaman sayur yang dipanen seperti pakcoy, fuguy, dan sawi yang dibagi pada warga untuk mendukung ketahanan pangan masyarakat.
Selain kebun hidroponik dan bank sampah, warga Kampung Samtama juga mengembangkan area bio konversi maggot sehingga mendukung pengembangan pertanian kota dengan berbasis lingkungan.
Adian mengatakan, pada mulanya tantangan terbesar dari pembangunan kampung Samtama adalah menarik partisipasi warga. Namun seiring dengan manfaat yang makin dirasakan akan hadirnya kampung yang hijau dan asri, kini masyarakat semakin terlibat aktif. Bahkan, kegiatan pemilahan sampah mandiri dan penghijauan sudah berjalan secara spontan dari masyarakat.
Salah satu dampak yang paling dirasakan adalah udara menjadi lebih bersih. Lingkungan menjadi lebih asri sehingga tidak terlalu sumpek dan sesak. Menurut Adian, lingkungan yang asri dan hijau telah meningkatkan kualitas udara dan kesehatan masyarakat.
“Kita berharap apa yang kami lakukan di RW 03 ini bisa menular ke banyak daerah di Jakarta sehingga secara bersama-sama bisa mengurangi dampak perubahan iklim dan pemanasan global terutama untuk wilayah DKI Jakarta,” ujar Adian.
Sebagai salah satu upaya menularkan semangat pelestarian lingkungan, saat ini Kampung Samtama mengembangkan konsep eduwisata. Dengan begitu siapa saja dapat belajar bersama untuk lebih peduli pada lingkungan dan alam. Wisata edukasi lingkungan diharapkan bisa mendorong banyak wilayah terpacu untuk berubah dan mengikuti jejak Kampung Samtama yang kini menjadi salah satu kampung proklim tingkat nasional.
Pengembangan Kampung Samtama menjadi kampung eduwisata diharapkan dapat mengurangi persoalan di Wilayah DKI Jakarta terutama sampah dan penghijauan. Berdasarkan data dari Pemerintah DKI, Jakarta Pusat setiap bulannya menghasilkan sampah rata-rata sebesar 22.208,3 Ton untuk dibuang ke TPA Bantar Gebang.
Keberadaan Kampung Samtama diyakini mampu mereduksi sampah organik rata-rata lebih dari 1 ton setiap bulannya melalui kegiatan komposting dan pemberian pakan maggot. Selain itu program ini selaras dengan Peraturan Gubernur (Pergub) nomor 77 tahun 2020 tentang pengelolaan sampah di lingkup RW. Pemerintah DKI Jakarta menargetkan untuk mengelola sampah setidaknya 30 persen di setiap RW.
“Sampah kalau dikelola dengan baik akan membawa berkah. Jika sampah bisa dikelola kenapa harus dibuang, lebih baik dimanfaatkan sehingga mempunyai nilai ekonomis,” ujar Walikota Jakarta Pusat, Dhany Sukma.
Adaptasi Menghadapi Perubahan
Pentingnya peningkatan peran warga kota dalam menjaga lingkungan memang menjadi salah satu fokus yang menjadi perhatian dalam menghadapi perubahan iklim.
Ketua Ikatan Ahli Perencanaan Wilayah dan Kota (ISOCARP), Hendricus Andy Simarmata dalam Lokakarya Media tentang Percepatan Pencapaian Target Pembangunan Rendah Karbon dan berketahanan Iklim, Selasa, 7 Desember 2021 lalu mengatakan kesadaran masyarakat kota yang secara sistematis mengembangkan ruang hijau akan meminimalisir kehilangan dan kerugian dari dampak perubahan iklim.
“Prinsip dalam mengatasi perubahan iklim ini selain adanya mitigasi juga perlu adaptasi sehingga pemerintah dan masyarakat bisa melakukan penyesuaian dan mengatasi dampak kerugian atau kehilangan akibat perubahan iklim, ” jelas Andy.
Secara nasional salah satu hal yang harus ditempuh menurut Andy adalah bagaimana mendorong agar persoalan perubahan iklim bisa masuk dalam siklus pembangunan jangka panjang. Saat ini menurut dia meski sudah masuk dalam RPJM 2005-2025 namun persoalan perubahan iklim belum mewarnai berbagai kebijakan yang dibuat pemerintah.
“Kita berharap pada 2025 pemerintah bisa punya start yang sama sehingga pencapaian pembangunan nasional juga bisa sejalan dengan pembangunan rendah karbon,” ujar Andy lagi.
Mengenai komitmen pemerintah dalam mewujudkan pembangunan rendah karbon, Direktur Lingkungan Hidup Bappenas, Irfan D Yananto mengatakan saat ini pemerintah terus berupaya menciptakan ekosistem ekonomi hijau dan rendah karbon. Salah satu caranya dengan meningkatkan kolaborasi dan komunikasi dengan berbagai stakeholder termasuk pemerintah daerah dan masyarakat.
“Implementasi kebijakan pembangunan rendah karbon dan berketahanan iklim menjadi salah satu langkah penting menuju ekonomi hijau yang dapat memberikan ekonomi yang lebih tangguh, “ujar Irfan.
Hingga 2024 nanti pemerintah menargetkan bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi seiring dengan upaya penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 27,3 persen. Saat ini Bappenas menurut dia telah menjadikan perubahan iklim sebagai pondasi dari ketiga pilar pembangunan berkelanjutan. Integrasi SDGs ke dalam rencana pembangunan nasional diharapkan bisa mendorong penurunan emisi gas rumah kaca.
Mengenai pentingnya peningkatan kesadaran, mitigasi dan adaptasi masyarakat kota terhadap perubahan iklim dan pembangunan rendah karbon, Ari Mochamad, dari Local Government for Sustainability Indonesia atau ICLEI mengatakan hal itu merupakan poin yang harus dilakukan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pada 2020 komposisi penduduk Indonesia yang tinggal di Kota mencapai 56,7 persen. Jumlah ini diproyeksi mencapai 66,6 persen pada 2035.
“Meningkatnya efisiensi energi di wilayah perkotaan dengan menciptakan perencanaan kota yang lebih baik, meningkatkan infrastruktur dan melaksanakan intervensi bersama perlu dilakukan untuk memastikan komitmen para pihak untuk menjalankan amanat pengurangan emisi gas rumah kaca. ”
Menurut Ari, pemerintah daerah memiliki peran penting dalam mempercepat pencapaian target Nationally Determined Contribution (NDC). Atas dasar itu maka upaya pemerintah kota dan kabupaten perlu didukung dengan pengumpulan data dan pembuatan profil iklim aksi daerah yang kuat sehingga membantu pemangku kepentingan di tingkat daerah untuk mendukung pemerintah nasional dalam mewujudkan akselerasi capaian NDC.
(Ira Guslina)